Histeris, Ibu Korban Cabul Oknum Polisi Di Cirebon dalam Sidang Saksi Ahli Psikologi.

Liputan12.com
CIREBON - Kasus dugaan pencabulan oknum polisi berpangkat Briptu berinisial CH, terus bergulir di persidangan. Orang tua korban, berinisial V menangis histeris saat mendengarkan keterangan saksi ahli psikologi, pada sidang yang di gelar di PN Sumber, Kamis (2/2/2023).

Sebelum dimulainya persidangan, Ketua Majelis hakim PN Sumber menyatakan persidangan tertutup untuk umum. Bahkan awak media ketika meminta ijin dokumentasi foto untuk pemberitaan pun, ditolak oleh ketua majelis hakim.

Ditengah jalannya proses persidangan, V selaku Ibu Korban, mendadak keluar dari pintu ruang cakra dengan menangis histeris. Ia berteriak di ruang tunggu sidang PN Sumber menuntut keadilan untuk anaknya. Bahkan petugas keamanan PN Sumber mencoba menenangkan ibu korban, sebelum masuk kembali kedalam ruang sidang.

Ditemui di tempat terpisah dan dalam keadaan yang lebih tenang, V menceritakan alasannya keluar dari ruang sidang sambil menangis histeris. Ia mengaku terpukul mendengar kesaksian saksi ahli psikologi yang seolah-olah menuduh anaknya berbohong. Padahal sejak kasus pencabulan tersebut terbongkar, anaknya tidak mau sekolah karena syok.

"Sejak awal saya selalu mengikuti proses persidangan anak saya. Karena memang sidangnya berjalan tertutup supaya mengetahui fakta-fakta di persidangan. Saya mencoba tegar, walaupun hati saya tidak kuat. Tapi saya harus kawal sampai selesai. Karena anak saya ini yang jadi korban. Hancur masa depan anak saya," ujar V dihadapan awak media.

V juga mengungkapkan, sejak awal jalannya persidangan, keadilan seolah tidak berpihak kepada anaknya. Bahkan ia juga mempertanyakan kenapa hanya saksi ahli yang ditunjuk oleh penyidik saja yang dihadirkan. Padahal dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ada dua saksi ahli psikologi yang diminta keterangannya oleh penyidik.

"Saksi ahli psikologi itu ada dua. Satu saksi ahli yang ditunjuk oleh penyidik dan yang satu lagi saksi ahli dari LPSK. Tapi kenapa yang dihadirkan dalam persidangan cuma saksi dari penyidiknya saja. Sementara saksi ahli dari LPSK justru tidak dihadirkan," imbuhnya.

V juga menambahkan ia tidak kuasa menahan tangisnya ketika dalam pembuktian di persidangan, saksi ahli justru seolah berpihak kepada terdakwa. Ia hanya bisa berharap kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim masih mempunyai hati nurani dalam menegakkan keadilan untuk anaknya.

"Saya masih berharap besar kepada JPU dan Majelis Hakim masih punya hati nurani dalam menentukan keadilan atas perbuatan terdakwa yang telah merusak masa depan putri saya, yang sampai saat ini masih trauma berat. Sejak akhir agustus sampai sekarang februari, anak saya belum juga mau sekolah," jelasnya.

Dikatakan V, keterangan dari saksi psikolog yang diajukan oleh penyidik kepolisian, yang mengaku bertugas di KPAI Jakarta, menerangkan dari awal pernyataannya di depan majelis hakim, bahwa anaknya tersebut sudah dikondisikan, berbohong, tidak ada trauma, melebih-lebihkan dan tidak ada sisi positifnya sama sekali.

"Anak saya itu korban, ko dibilang berbohong. Anak 12 tahun apakah bisa disuruh berbohong. Anak saya itu seolah-olah tidak ada sisi positifnya sama sekali dimata saksi ahli psikologi. Padahal baru satu kali melakukan pemeriksaan terhadap anak saya. Mohon maaf anak saya itu normal. Masa tidak ada kelebihannya sama sekali. Maaf yang tidak sempurna fisiknya pun, pasti ada kelebihannya," ujar V.

V juga menerangkan, dari semua saksi di persidangan hampir semuanya dari pihak keluarga. Ia juga mengaku sedikit kecewa kepada JPU, yang awalnya akan mencoba menghadirkan tiga saksi ahli dari kedokteran, tapi yang dihadirkan hanya dua dan yang berhasil memberikan keterangan di persidangan hanya satu.

"Waktu itu majelis hakim juga meminta saksi ahli dari kedokteran kepada JPU. Awal JPU mengusulkan satu orang saksi ahli kedokteran. Tapi majelis hakim minta ditambah. Dan berhasil menghadirkan dua saksi ahli kedokteran dari tiga yang direncanakan. Tapi sayangnya cuma satu yang bisa didengar keterangannya, dan yang satunya selalu
saja ada halangan yang membuatnya tertunda," terangnya.

Padahal dikatakan V, saksi visum yang gagal memberikan keterangannya dalam persidangan adalah dokter visum mandiri diluar MoU dengan kepolisian. Dan saksi itu menurut V adalah satu-satunya harapannya untuk bisa berbicara sejujur-jujurnya dan objektif dengan hasil visum yang sebenar-benarnya.

"Pada saat itu waktu visum pun, dokter itu menangis dan sampai memeluk saya. Iba dan turut prihatin atas apa yang dialami oleh putri saya. Bahkan selesai visum pun dokter yang memeriksa anak saya sempat merasa emosional juga, sampai menghujat dan menghakimi pelaku," paparnya.

V juga mengakui untuk visum sendiri sudah dilakukan beberapa kali. Untuk visum selaput dara sudah dua kali dan visum KDRT satu kali. Sedangkan didalam dakwaannya, yang diperkarakan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan asusila.

"Untuk visum sendiri semuanya ada tiga. Visum KDRT di rumah sakit Sumber Hurip, dokternya tidak dihadirkan. Sementara asusilanya ada dua visum, satu dokter obgyn dan satu dokter umum. Yang sudah MoU dengan kepolisian itu rumah sakit Sidawangi. Tapi saya juga memilih visum mandiri lagi, sebagai bahan pembanding. Tapi ternyata tidak diperiksa dalam persidangan," terangnya.

V juga menyayangkan adanya kesaksian dari saksi adecharge yang mengatakan bahwa terdakwa sangat disiplin dalam bekerja dan jarang pulang kerumah. Padahal faktanya, terdakwa yang juga suaminya sering pulang kerumah saat jam kerja.

"Saya juga sangat menyayangkan kurangnya komunikasi antara JPU dengan pihak korban. Padahal saya juga sebagai ibu korban. Saya ini istrinya, kapan suami saya berangkat kerja, kapan pulang kerja pasti tahu. Kalau tahu kejadiannya bakal seperti ini di persidangan, saya pasti akan menghadirkan saksi-saksi seperti security komplek atau tetangga saya, kan biar jelas," terangnya.

V juga memohon kepada instansi tempat terdakwa bekerja untuk tidak membela terdakwa secara berlebihan. Ia juga memohon kepada rekan-rekan terdakwa untuk tidak menutup-nutupi kejelekan ataupun kelalaiannya saat bertugas.

"Waktu sidang saksi adecharge dari kepolisian itu, saya menduga instansi juga berusaha menutupi bahwa terdakwa itu selalu disiplin. Padahal kenyataannya tidak seratus persen keterangan itu benar. Saksi adecharge yang waktu itu dihadirkan kepersidangan yaitu atasan terdakwa adalah KBO dan teman kerjanya berinisial IB," imbuhnya.

Padahal, lanjut V, suaminya tersebut sering pulang dini hari, sering pulang tengah malam sampai akhirnya ia juga ada pikiran negatif, jangan-jangan suaminya itu suka mampir ke tempat hiburan juga. Karena bebas jam kerjanya.

"Kalo soal jam kerja itu saya kan masih inget, terjadi piket itu kan empat hari sekali. Piket, lepas piket, terus plotingan, plotingan. Tapi kenapa dipersidangan berbeda. Piket itu terjadi tiga hari sekali. Itu dari situ juga sudah janggal, siapa jadi yang berbohong," tegasnya.

Sementara dilain hal, pada saat sidang pembuktian kesaksian baby sister dipersidangan, keceplosan bahwa terdakwa pernah pulang diluar jam kerja. Seharusnya itu juga menjadi catatan panitera atau majelis hakim bahwa kesaksian itu tidak seratus persen benar.

"Bahkan waktu itu juga di dalam persidangan terdakwa sempat ditanyakan oleh hakim, bahwa di BAP terdakwa mengakui telah melakukan perbuatan asusila selama tiga kali. Waktu di BAP itu kan terdakwa belum ada penasihat hukum. Tapi kenapa waktu ditanya oleh hakim, terdakwa tidak mengaku. Padahal di BAP'nya ada," terangnya.

Dari proses peradilan tersebut, V awalnya optimis akan mendapatkan keadilan. Tetapi seiring berjalannya waktu, banyak kekecewaan yang dirasakan. Namun ia masih menaruh harapan besar kepada JPU dan Majelis Hakim, mudah-mudahan keadilan dapat ditegakkan dan terdakwa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatan yang dilakukannya. (*)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama