Penulis: H. Iklim Cahya
OGAN ILIR liputan 12.com
Dalam beberapa hari terakhir, publik kembali disuguhi berita seputar Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau yang populer disebut Oo Te Te. Fenomena ini seolah menjadi tontonan rutin dalam panggung pemberantasan korupsi di negeri ini — kadang mengejutkan, kadang juga hanya lewat tanpa bekas.
Kasus terbaru datang dari berbagai daerah. Di Riau, seorang gubernur berinisial AW dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima fee proyek. Tak lama berselang, S, Bupati Ponorogo, ikut terseret kasus dugaan suap jabatan di kabupaten yang terkenal dengan kesenian Reog-nya itu. Dua kepala daerah ini diamankan tim KPK di wilayah masing-masing — menambah deretan panjang pejabat publik yang terjerat dalam operasi senyap lembaga antirasuah tersebut.
Namun ternyata, OTT tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Di daerah pun, gaungnya kini sampai ke Kabupaten Ogan Ilir. Tim Polres Ogan Ilir (OI) belum lama ini juga melakukan OTT terhadap dua orang yang mengaku sebagai pengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kedua orang tersebut diamankan di sebuah rumah makan di Indralaya, menyusul laporan dari seorang kepala desa (Kades) yang merasa diperas.
Dalam konferensi pers, Kapolres OI, AKBP Bagus Suryo Wibowo, menegaskan bahwa kasus dugaan pemerasan terhadap Kades Talang Aur tersebut telah memenuhi dua alat bukti dan akan dilanjutkan ke proses hukum berikutnya.
Langkah cepat Polres Ogan Ilir ini menarik perhatian publik. Pasalnya, inilah kali pertama operasi tangkap tangan dilakukan di wilayah hukum Ogan Ilir. Bagi sebagian kalangan, peristiwa ini menjadi sinyal positif — sebuah pintu pembuka bagi penegakan hukum yang lebih tegas terhadap praktik pemerasan, suap, maupun penyalahgunaan wewenang di tingkat lokal.
Tak sedikit pula yang menilai, kasus serupa sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum. Isunya beredar dari kepala desa dengan dana desa-nya, kepala sekolah dengan dana BOS, puskesmas dengan dana BOK, hingga dinas atau badan yang memiliki proyek pembangunan. Banyak pihak tahu, sedikit yang berani bertindak.
Meski begitu, penulis menilai bahwa akar persoalan korupsi di Indonesia tidak hanya soal moralitas individu. Ada pula sistem yang membuat praktik itu seolah menemukan ruangnya sendiri. Sistem politik yang berbiaya tinggi, misalnya, sering kali memaksa banyak pejabat untuk “mengembalikan modal” setelah menduduki jabatan. Di sinilah godaan untuk menyalahgunakan wewenang menjadi semakin kuat.
KPK dan aparat penegak hukum lainnya sejatinya telah banyak melakukan OTT. Namun, selama pengawasan tidak dilakukan secara konsisten dan menyeluruh, peluang bagi pelaku untuk berbuat curang tetap terbuka. “Jika KPK dan aparat serius memonitor tanpa kepentingan subjektif, mungkin jumlah yang terkena OTT akan lebih banyak lagi,” tulis Iklim dalam catatannya.
Pemberantasan korupsi memang tidak bisa hanya mengandalkan tindakan penangkapan. Pencegahan jauh lebih penting. Karena itu, menurut penulis, sistem pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara harus berlapis. Bahkan, pengawas pun perlu diawasi. Sebab, tak sedikit pula yang justru ikut “melindungi” penyimpangan.
Pada akhirnya, fenomena Oo Te Te bukan sekadar tentang siapa yang tertangkap, melainkan tentang bagaimana bangsa ini belajar dari setiap peristiwa. Penegakan hukum yang konsisten dan sistem pemerintahan yang transparan adalah kunci agar cerita serupa tak terus berulang di halaman depan media.
0 Komentar