SEMARANG, Liputan12.com - Penahanan dua mahasiswa berinisial AGF dan MHF setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelemparan bom molotov saat aksi demonstrasi di Mapolda Jawa Tengah memicu kritik dari tim kuasa hukum mereka. JAFli menilai proses hukum yang berjalan tidak mencerminkan proporsionalitas dan berpotensi mengkriminalisasi peserta aksi.
Tim kuasa hukum AGF dan MHF, yakni Dr (Hc). Joko Susanto, Muhammad Alfin Aufillah Zen, Muh. Yudi Rizqi Imanuddin, Misbakhul Awang Sakti, dan Yanuar Habib, menyatakan keberatan atas pelimpahan perkara yang dilakukan penyidik Polda Jateng ke Kejaksaan Negeri Kota Semarang pada 19 November 2025.
“Kami beranggapan kasus ini terlalu dipaksakan. Sekalipun klien kami menggunakan bom molotov buatan, itu bukan untuk mencelakai, melainkan untuk menghalau agar tidak terjadi bentrok antara aparat dan pendemo,” ujar Joko Susanto, Jumat (21/11/2025).
Ia menegaskan bahwa tidak ada korban dalam insiden tersebut dan tindakan kedua mahasiswa itu justru bertujuan meredam situasi. “Karena masih mahasiswa dan niatnya menyuarakan aspirasi masyarakat, seharusnya mereka cukup dibina kampus, bukan diadili,” tambahnya.
Sementara itu, Muh. Yudi Rizqi Imanuddin menilai penetapan tersangka terhadap kliennya sarat nuansa kriminalisasi. Ia menyebut bahwa salah satu tersangka, MHF, juga memiliki riwayat gangguan psikologis dan kejiwaan seperti ADHD dan Gangguan Spektrum Autisme (GSA).
Meski mendapat protes, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap menahan AGF dan MHF selama 20 hari di Lapas Kedungpane Semarang menjelang persidangan.
JPU Kejari Kota Semarang, Hadi Sulanto, mengatakan penahanan dilakukan karena tindakan keduanya dianggap membahayakan. Barang bukti yang disertakan antara lain serpihan molotov, sepeda motor, dan rekaman CCTV.
Kedua mahasiswa itu dijerat Pasal 187 KUHP dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara, serta Pasal 212 dan Pasal 214 KUHP terkait perlawanan terhadap pejabat yang sedang bertugas.
Zen
0 Komentar