Sulut-Liputan12, Kasus pidana penyerobotan tanah di desa Sea Kebun Tumpengan kembali mencuat ke publik (24-11-2025), dengan dilakukannya sidang pidana penyerobotan di Pengadilan Negeri Manado. Sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Erwin Marentek, SH, beranggotakan Bernadus Papendang, SH dan Aminudin Dunggio, SH, serta Penitera Pengganti (PP) Jemmy Kumontoy, SH. Kasus ini menjadi sorotan, mengingat dampaknya terhadap masyarakat desa Sea dan kepemilikan tanah yang sah.
Empat terdakwa dalam kasus ini, yaitu AWG alias Arie, JHG alias Jemmy, SB alias Senjata, dan JM alias Masinambow, harus menghadapi tuntutan dari JPU atas laporan dari pihak PT Buana Propertindo Utama, yakni milik Jimmy Wijaya. Mereka dijerat dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin oleh Natalia Katimpali, SH dan James Pade, SH, MH menghadirkan lima saksi dalam sidang. Dua dari saksi tersebut adalah mantan Hukum Tua, James Royke Sangian dan Johan Pontororing, serta saksi Plt. Kumtua, Johana Metrix Tamuntuan, SPd, serta ditambah dua orang ASN dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Minahasa.
Saksi Plt. Kumtua Desa Sea, Johana Metrix Tamuntuan, SPd, memberikan keterangan tentang pembayaran pajak tanah yang membingungkan. Dia mengungkapkan bahwa Jimmy Wijaya belum membayar pajak sejak 2023.
Ketika ditanya mengenai pajak terdakwa lainnya, saksi menyatakan ketidakpastian dan hanya memberikan kesan bahwa ada kebingungan dalam administrasi pajak.
Sedangkan John Pontororing mantan Kumtua desa Sea, dalam keterangannya mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan pengukuran tanah dan menolak tawaran untuk menandatangani dokumen konversi. Sehingga dia menduga bahwa sertifikat tersebut bodong.
Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat terhadap praktik-praktik yang merugikan mereka.
Sementara dua saksi ASN dari BPN yakni Agung Nur Isa dan Candra Darma Nugraha, memaparkan langkah-langkah yang diambil dalam proses penetapan tanah. Dalam keterangan mereka dinyatakan bahwa pihaknya hanya melakukan pemetaan menggunakan titik koordinat GPS tanpa verifikasi langsung di lapangan, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai validitas data yang diberikan.
Saksi dari BPN tersebut menjelaskan bahwa untuk menerbitkan sertifikat tanah diperlukan dokumen pendukung, termasuk surat keterangan tidak sengketa dari pemerintah desa.
Hal ini menegaskan pentingnya keabsahan dokumen dalam proses pembuatan sertifikat dan kemungkinan keguguran hukum jika dokumen tersebut tidak diperoleh dari pihak terkait.
Usai sidang berlangsung, Penasihat Hukum, Noch Sambouw, SH, MH, CMC ketika diwawancarai para wartawan menyatakan bahwa sertifikat tanah yang diperlihatkan dalam persidangan, yakni pertama sertifikat, HGB 3320 HGB 3036, dan sertifikat 3027, itu semua hasil penurunan hak dari SHM 68, 67 dan 66, yang atas nama Mumu Cs.
Semua surut ukur di tahun 1990 dan diterbitkan sertifikat di tahun 1995, belum ada proses pengukuran yang sah.
Saat ini sementara diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) , yang dalam waktu dekat sudah ada putusan.
Noch Sambouw menjelaskan juga mengenai peraturan yang ada, menyatakan bahwa tanah yang sudah diduduki oleh rakyat wajib diberikan prioritas kepada mereka, berlandaskan Kepres No.32/1979.
Inilah yang menjadi landasan hukum bagi masyarakat Desa Sea dalam mengklaim hak atas tanah yang selama ini mereka tempati.
Sidang ini mencerminkan harapan masyarakat akan keadilan dan penegakan hukum yang adil dalam kasus penyerobotan tanah. Masyarakat berharap agar pengadilan dapat memberikan keputusan yang berpihak pada mereka, mengingat hak atas tanah merupakan bagian penting dari kehidupan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Sulut-Liputan12, Kasus pidana penyerobotan tanah di desa Sea Kebun Tumpengan kembali mencuat ke publik, dengan dilakukannya sidang pidana penyerobotan yang dipimpin oleh Majelis Hakim Erwin Marentek, SH.
Dalam sidang ini, turut beranggotakan Bernadus Papendang, SH dan Aminudin Dunggio, SH, serta Penitera Pengganti (PP) Jemmy Kumontoy, SH. Kasus ini menjadi sorotan, mengingat dampaknya terhadap masyarakat desa Sea dan kepemilikan tanah yang sah.
Empat terdakwa dalam kasus ini, yaitu AWG alias Arie, JHG alias Jemmy, SB alias Senjata, dan JM alias Masinambow, harus menghadapi tuntutan dari JPU atas laporan dari pihak PT Buana Propertindo Utama, yakni milik Jimmy Wijaya. Mereka dijerat dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin oleh Natalia Katimpali, SH dan James Pade, SH, MH menghadirkan lima saksi dalam sidang. Dua dari saksi tersebut adalah mantan Hukum Tua, James Royke Sangian dan Johan Pontororing, serta saksi Plt. Kumtua, Johana Metrix Tamuntuan, SPd, serta ditambah dua orang ASN dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Minahasa.
Saksi Plt. Kumtua Desa Sea, Johana Metrix Tamuntuan, SPd, memberikan keterangan tentang pembayaran pajak tanah yang membingungkan.
Dia mengungkapkan bahwa Jimmy Wijaya belum membayar pajak sejak 2023.
Ketika ditanya mengenai pajak terdakwa lainnya, saksi menyatakan ketidakpastian dan hanya memberikan kesan bahwa ada kebingungan dalam administrasi pajak.
Sedangkan John Pontororing mantan Kumtua desa Sea, dalam keterangannya mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan pengukuran tanah dan menolak tawaran untuk menandatangani dokumen konversi. Sehingga dia menduga bahwa sertifikat tersebut bodong.
Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat terhadap praktik-praktik yang merugikan mereka.
Sementara dua saksi ASN dari BPN yakni Agung Nur Isa dan Candra Darma Nugraha, memaparkan langkah-langkah yang diambil dalam proses penetapan tanah. Dalam keterangan mereka dinyatakan bahwa pihaknya hanya melakukan pemetaan menggunakan titik koordinat GPS tanpa verifikasi langsung di lapangan, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai validitas data yang diberikan.
Saksi dari BPN tersebut menjelaskan bahwa untuk menerbitkan sertifikat tanah diperlukan dokumen pendukung, termasuk surat keterangan tidak sengketa dari pemerintah desa.
Hal ini menegaskan pentingnya keabsahan dokumen dalam proses pembuatan sertifikat dan kemungkinan keguguran hukum jika dokumen tersebut tidak diperoleh dari pihak terkait.
Usai sidang berlangsung, Penasihat Hukum, Noch Sambouw, SH, MH, CMC ketika diwawancarai para wartawan menyatakan bahwa sertifikat tanah yang diperlihatkan dalam persidangan, yakni pertama sertifikat, HGB 3320 HGB 3036, dan sertifikat 3027, itu semua hasil penurunan hak dari SHM 68, 67 dan 66, yang atas nama Mumu Cs.
Semua surut ukur di tahun 1990 dan diterbitkan sertifikat di tahun 1995, belum ada proses pengukuran yang sah.
Saat ini sementara diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) , yang dalam waktu dekat sudah ada putusan.
Noch Sambouw menjelaskan juga mengenai peraturan yang ada, menyatakan bahwa tanah yang sudah diduduki oleh rakyat wajib diberikan prioritas kepada mereka, berlandaskan Kepres No.32/1979.
Inilah yang menjadi landasan hukum bagi masyarakat Desa Sea dalam mengklaim hak atas tanah yang selama ini mereka tempati.
Sidang ini mencerminkan harapan masyarakat akan keadilan dan penegakan hukum yang adil dalam kasus penyerobotan tanah. Masyarakat berharap agar pengadilan dapat memberikan keputusan yang berpihak pada mereka, mengingat hak atas tanah merupakan bagian penting dari kehidupan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Penulis: JeaEva

0 Komentar