H Syofhatilah Pemerkasa Alquran Terbesar Di Dunia

PALEMBANG, Liputan12.com - Puluhan tahun silam, sekumpulan anak usia belasan tahun memenuhi ruangan kelas di sebuah kampung pesisir ujung barat Pulau Jawa.

Mereka tampak khusyuh mendengarkan pidato “Indahnya Persaudaraan” yang dibawakan Opat, bocah ingusan berusia sepuluh tahun.

Pidato Opat begitu memukau teman-temannya, meski sesekali diselingi tarikan ingusnya. Boleh jadi, itulah satu pertanda atau isyarat dari langit yang mengabarkan tentang takdir yang mengantarkan perjalanan hidup Opat kelak setelah dewasa.

Siapa sangka, bocah ingusan ini sekarang menjadi pemimpin bangsa. Opat terpilih sebagai anggota dewan kota Palembang, lanjut ke DPR RI hingga dua periode.

H Syofwatillah, pilihan Allah, itulah arti nama pria aslinya Jawa Barat ini.

Ia memilih berhijrah ke Palembang menetap di sini, hingga mendirikan pesantren IGM Ihsaniyah Gandus dan pemrakarsa Alquran terbesar di dunia Al Akbar.

Dialah Opat, panggilan akrabnya, si juragan komik yang tak mau ngalah dengan nasib apa adanya, namun memperbanyak berbuat baik bagi umat. Prinsip utama hidupnya. Siapapun yang memuliakan Alquran pasti akan dimuliakan Allah. Inilah Opat.

Ia yakin apa yang dijanjikan Allah dalam Alquran sedikit pun tidak meleset. Ternyata benar adanya. Hampir semua kesuksesan hidup yang ia peroleh datang mengalir deras dari malaikat Allah yang menjelma melalui orang sekitarnya.

Namanya melejit tanpa sogok, tanpa modal apapun. Hanya modal silaturahmi melalui hobi ceramahnya, tulus dalam bergaul dengan siapapun dan tawakkal penuh dengan ibadah seutuhnya kepada Allah.

Opat seakan tidak percaya, awal mula karirnya dari hobi ceramah dan mencoba membuat Alquran berukuran besar dari hobinya menulis kaligrafi, yang kini sudah dijadikan pusat wisata Alquran dunia di Musium Gandus.

Penggagas Alquran Terbesar di dunia abad ini sebuah karya monumental yang kelak menorehkan sejarah bangsa ini, khususnya umat Islam.

Opat anak bungsu dari delapan bersaudara empat laki-laki dan empat perempuan dari pasangan H Mohammad Zaini Bahnan asal Palembang dan Hj Sufroh Sarbini asal Serang. Opat bukanlah berasal dari keluarga yang serba berkecukupan. Sewaktu mengandung Opat, Sufroh sedang berada di Palembang, mengikuti jejak perniagaan sang suami.

Zaini memang kerap mondar-mandir Serang-Palembang demi kelangsungan usaha dagangnya. Barangkali, perpaduan antara darah Palembang dan Banten inilah yang mengalir dalam diri Syofwatillah. Dua daerah yang pada masa lalu menjadi pusat kejayaan dan syiar Islam di Nusantara.

Dikisahkan, semasa mengandung Opat, ibunya selalu rajin membaca Alquran. Ia juga selalu rutin membaca kitab Dala’ilul Khairat, yaitu kitab klasik warisan ulama besar di dunia Islam, yang biasa dilagamkan di pengajian-pengajian tradisional.

Bagi sebagian santri, tentu kitab Dala’il ini tak asing lagi. Kitab ini bercerita seputar sirah perjalanan Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.

Nah, dalam salah satu bait kitab Dala’il itulah tertera nama “Shofwatullah” yang kemudian menginspirasi Zaini-Sufroh untuk memberi nama anak bungsunya itu “Syofwatillah” yang berarti “Pilihan Allah”.

Kalau dilihat dari sisi kaidah bahasa Arab, pelafalan antara “Shofwatillah” dan “Shofwatullah”, tidak berpengaruh atau mengubah maknanya. Uniknya, belum genap berusia lima tahun, Opat telah terdaftar menjadi siswa SD. Tetapi sayang, masa belajar Opat di SD tersebut tak bisa bertahan lama.

Ia hanya sampai duduk di kelas satu. Pasalnya, kedua orangtua Opat menilai bahwa di Kota Palembang, di mana Opat tinggal dan bergaul, masih jauh dari jangkauan pendidikan agama dan lingkungannya kurang kondusif. Atas dasar itulah, orangtua Opat kembali membawanya ke Kampung Pengoreng, Serang.

Kepindahan Opat ke Serang tepat setelah kenaikan kelas. Sembari sekolah umum di pagi hari. Opat harus mengikuti pendidikan agama sebagai santri kalong dekat rumah.

Sejak duduk di bangku SD, Opat banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Ia juga sering datang ke rumah gurunya untuk belajar tambahan baik pelajaran sekolah maupun kesenian. Opat seolah tak mau berdiam diri. Energik dan partisipatif.

Ketika baru menginjak kelas tiga, misalnya, Opat sudah tampil percaya diri mengikuti lomba deklamasi, alias pembacaan puisi. Lomba itu selalu digelar setiap peringatan 17 Agustus, antar sekolah se-Kecamatan Bojonegara.

Saat itu, guru sekolah menawarkan kesediaan siswa untuk mengikuti lomba deklamasi yang disertai gerak dan mimik wajah. Namun, tak seorang siswa pun di SD Mangunreja yang bersedia mengikuti lomba bergengsi antar sekolah itu.

“Akhirnya, saya mengacungkan tangan,” kata Opat. Memang bisa? ”Tidak! Tapi saya memberanikan diri,” kenang Opat. Ia tidak tahu apa itu “deklamasi”.

Dari sinilah, jiwanya sebagai penceramah timbul karena sering tampil di muka umum. Akhirnya ia mencoba mengikuti lomba ceramah dan mendapat apre siasi sebagai pemenang. Di sini Opat memiliki rumus kesuksesan Mau terus mencoba dan berani tampil. “Bagaimana kita mau sukses, kalau tidak mau mencoba,” katanya.

Bahkan, untuk membantu orang tuanya membiayai sekolahnya. Opat tidak segan membantu berjualan kue keliling, pulang sekolah pukul 13.00 WIB jual pempek, dan sore jam hingga 20.30 WIB, jadi kernet angkot jurusan Ampera-Tangga Buntung, ikut kakak iparnya Udin (suami Zakiyah), atau sopir-sopir lainnya.

Uang yang ia terima dari hasil kernet dan membantu di warung, ia kumpulkan untuk membuka usaha. Di sinilah jiwa seorang entrepreneur mulai muncul. Pada mulanya hanya sebuah hobi. Memang, Opat senang sekali membaca komik. Inilah keuntungan Opat, tinggal di rumah yang tak jauh dari perkotaan.

Ia bisa dengan mudah mengakses bacaan buku dan komik. Barangkali, karena hobinya membaca itulah dia kemudian membuka usaha penyewaan buku kecil-kecilan. Selain menghasilkan uang, ia juga bisa tetap menyalurkan hobinya membaca.

Belajar bisnis dari hobi dengan menjadi ”pengusaha” rental buku dan komik. Itulah yang dilakukan Opat ketika duduk di kelas dua MTs. Dilihat dari sisi peluang usaha, menurut Opat, bisnis rental komik cukup menjanjikan.

Harga jasa rental komik ini cukup variatif. Komik Wiro Sableng, Petruk-gareng, dan majalah Bobo, ia sewakan seharga Rp 50 per tiga buku. Dari penyewaan ini, Opat mampu mengantongi laba sebesar Rp 500-1.500 per hari.

Memasuki usia muda, Opat menyalurkan bakat dan hobinya yang berkembang di Ar-Risalah. Ketika digelar lomba pidato se-Pondok Ar-Risalah, Opat berhasil menyabet juara pertama, lomba pidato dalam kategori bahasa Indonesia.

Lama berselang, Syofwatillah alias Opat akhirnya memasuki bangku kuliah di Fakultas Dakwah, jurusan BPI (Bimbingan Penyuluhan Islam) IAIN Raden Fatah Palembang. Sengaja mengambil fakultas tersebut, karena ingin fokus pada dakwah islamiyah, yang sudah ditekuninya selama ini. Semasa kuliah, Opat tidak seperti mahasiswa pada umumnya—yang banyak mengisi waktunya di kampus dengan berbagai kegiatan.

Ia datang ke kampus hanya untuk kuliah. Jika dosennya berhalangan hadir, ia langsung meninggalkan kampus. Opat bukan benci dengan organisasi, tapi faktor pekerjaan yang kian banyak. Beraneka ragam pekerjaan ia jalani, mulai dari guru privat agama di Perumahan Bukit Sejahtera Poligon (salah satu kompleks elit di Palembang), membuat kaligrafi di masjid-masjid, hingga menjadi penceramah keliling di berbagai tempat.

Uniknya, dari sekian banyak pekerjaannya, Opat tidak menjadi orang yang kaya raya alias tajir! Tapi pas-pasan sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Karena, semua yang ia kerjakan tidak bertarif khusus atau terlalu dikomersialkan.

Tepat pada tahun 2002, Syofwatillah Mohzaib telah merampungkan pemasangan kaligrafi pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II. Dari situ, ia mulai berpikir untuk membuat Mushaf Alquran dengan ornamen dan ukiran khas Palembang. Dan kini menjadi mushaf yang terbesar di dunia. Al Akbar di Musium Gandus Palembang.

Opat hanya berharap para generasi muda ke depan bisa memaksimalkan waktu mudanya, jangan sampai telat. Jangan biarkan banyak waktu kosong. Setiap detik adalah berharga dan pasti ada balasanya untuk masa depan kita. Jika telat, masa tua Anda akan menyesali semuanya. Waktu tidak pernah akan kembali tutupnya.

(Mursalan)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama